![]() |
Wisata Lokal |
Bukit Kuneer: Secangkir Kabut, Sepotong Hening
Pagi itu saya berangkat sendirian dari arah Kepanjen. Suara
motor tua menemani langkah saya menuju Wonosari, tempat di mana Bukit Kuneer
menyembunyikan dirinya di antara kebun teh yang sunyi.
Sesampainya di sana, tak ada loket besar, tak ada antrean
panjang. Hanya satu warung sederhana dengan ibu-ibu tua yang menawarkan teh
tubruk dan gorengan. Saya melangkah ke gardu pandang. Hamparan kebun teh
membentang seperti karpet hijau, dengan garis-garis rapi yang seakan ditata
oleh pelukis alam.
Beberapa turis lokal terlihat duduk bersandar, namun suasana
tetap tenang. Bukit ini bukan untuk yang mencari gemerlap, tapi untuk yang
ingin bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.
Coban Jahe: Gemuruh yang Menenangkan
Berbeda dengan air terjun lain di Malang yang ramai
wisatawan, Coban Jahe menawarkan kesunyian yang justru membuat gemuruh airnya
terdengar seperti terapi alam. Terletak di kawasan Tumpang, saya menemukan
jalurnya sedikit menantang namun layak dijelajahi.
Berjalan kaki sekitar 15 menit dari area parkir, saya disambut suara air terjun yang deras dan percikannya terasa di udara bahkan dari kejauhan. Di dekat batu besar, ada seorang bapak tua duduk sambil merendam kaki. Ia bercerita bahwa hampir tiap sore ia datang ke sana untuk ‘menjernihkan hati’. Sebuah kalimat sederhana yang membuat saya terdiam. Ternyata, wisata lokal bisa memberi lebih dari sekadar foto — ia menyentuh emosi.
![]() |
Wisata Lokal |
Desa Gubugklakah: Gerbang Menuju Bromo yang Sering
Terlupakan
Kebanyakan wisatawan menuju Bromo dari arah Cemoro Lawang,
padahal Desa Gubugklakah juga menyimpan banyak cerita. Saya menginap semalam di
homestay milik Pak Hadi, warga lokal yang dulunya pemandu Bromo.
Dari jendela kamarnya, saya bisa melihat garis cahaya
matahari pagi menyelinap di antara bukit. Di dapurnya, kopi robusta dan pisang
goreng menjadi teman diskusi kami soal perubahan wajah desa akibat pariwisata.
Pak Hadi berkata, “Kami senang banyak tamu datang, tapi kami
lebih senang kalau mereka juga paham dan hormat sama budaya kami.”
Kalimat itu seperti tamparan lembut. Wisata lokal
harus tetap berdampingan dengan kearifan lokal, bukan menggusurnya.
Taman Langit Gunung Banyak: Senja, Sajak, dan Sepi
Sore hari di Taman Langit terasa seperti lembar puisi yang
belum selesai ditulis. Angin pelan menyapu rambut, awan jingga menggantung
pelan di ujung langit. Saya datang bersama teman lama yang sedang burnout
karena pekerjaan.
Kami duduk di bangku kayu sambil melihat siluet kota Batu
dari kejauhan. Tak ada obrolan serius. Hanya desahan pelan, dan kadang tawa
kecil tentang masa SMA.
Mungkin inilah kekuatan sejati dari wisata lokal —
bukan tempatnya yang megah, tapi momen sederhana yang bisa dibingkai menjadi
kenangan.
Warung Pinggir Sawah di Pujon: Lebih dari Sekadar Nasi
Jagung
Siapa sangka warung kecil di pinggir sawah bisa mengalahkan
kafe mahal di pusat kota? Di Pujon, saya menemukan tempat makan dengan menu
sederhana: nasi jagung, tempe mendoan, sambal terasi, dan teh panas.
Tapi yang membuatnya istimewa adalah latar sawah hijau,
bunyi gemercik air dari saluran irigasi, dan obrolan ringan ibu pemilik warung
yang membuat saya merasa seperti pulang.
Seorang pengunjung dari Blitar yang duduk di sebelah saya berkata, “Aku tiap bulan ke sini. Kalau sudah capek sama kerjaan, tempat ini bisa menyembuhkan.” Saya hanya mengangguk setuju.
![]() |
Wisata Lokal |
Menyusuri Jalur Sepeda di Turen
Turen bukan tempat wisata populer di Malang. Tapi saya
penasaran karena seorang kawan bercerita soal jalur sepeda yang membelah
kampung-kampung kecil dan hutan pinus di sana.
Dengan sepeda sewaan dan GPS offline seadanya, saya
menelusuri jalur itu. Bertemu anak-anak kecil yang menyapa, singgah di warung
untuk beli es teh, dan menemukan sungai kecil yang jernih tak bernama.
Tidak ada yang spektakuler. Tapi semuanya nyata, jujur, dan
menyegarkan jiwa.
Menemukan Rasa dalam Kesederhanaan
Berwisata tak harus jauh, mahal, atau mewah. Justru dalam wisata
lokal yang tersembunyi dan sederhana itulah kita sering menemukan yang
selama ini kita cari — rasa tenang, keintiman dengan alam, dan cerita yang tak
bisa dibeli di toko oleh-oleh.
Wisata
lokal di Malang bukan hanya tentang destinasi, tapi tentang perjalanan
batin, perjumpaan dengan manusia lain, dan kesempatan untuk sejenak mendengar
suara diri sendiri.